Kualitas sekolah memiliki
beragam definisi, sehingga mendefinisikan batasan sekolah berkualitas bukanlah
perkara mudah. Tulisan ini adalah sebuah wacana yang didasarkan hasil
penelitian saya yang menggambarkan makna kualitas sekolah dari berbagai sudut pandang.
Penelitian dilakukan dengan mewawancarai beberapa kepala sekolah, siswa, dan
orang tua siswa di empat SMA di Kabupaten Banyumas Jawa Tengah dan empat SMA di
Kota Kupang, NTT. Selain itu, penulis juga melakukan wawancara dengan elemen
pemerintah pusat dan daerah yang berkepentingan dengan praktik pendidikan.
Mengukur kualitas pendidikan tidak lepas dari peranan makna
kualitas itu sendiri. Pemaknaan mengenai kualitas pendidikan atau kualitas
sekolah harus dilakukan secara teliti untuk menemukan definisi kualitas sekolah
yang tepat dan praktis. Scheerens (2004) dan Litten & Hall (1989)
menjelaskan bahwa pengukuran kualitas sekolah perlu mempertimbangkan persepsi
atau pendapat aktor-aktor yang terlibat di dalam proses pembelajaran di
sekolah: pemerintah, kepala sekolah, guru, siswa, orang tua, tenaga administrasi,
serta masyarakat sebagai pengguna. Aktor-aktor ini memiliki persepsi yang
berbeda.
Masyarakat memiliki harapan yang sangat beragam terhadap peran
sekolah bagi mareka. Masyarakat juga memiliki pemikiran atau pendapat berbeda
dengan pemerintah atau guru ketika mereka memaknai kualitas sekolah (Litten
& Hall, 1989). Meskipun standarisasi dari pemerintah adalah standar ideal,
namun sering kali standarisasi tersebut tidak sesuai dengan harapan masyarakat.
Inilah yang menyebabkan ada perbedaan pendapat mengenai indikator kualitas
sekolah antara pemerintah, sekolah, dan masyarakat sebagai pengguna. Perbedaan
tersebut juga mengindikasikan bahwa masing-masing pihak memiliki kepentingan
yang berbeda-beda (Hopkins, 2001; Harvey, 1995).
Wacana Negara
Secara teoritis, kualitas sekolah dipandang dari tiga aspek utama, yaitu input, proses pendidikan, dan output. Sementara, pendapat lain menambahkan satu komponen, yaitu outcomes (keluaran) atau hasil yang dicapai ketika siswa telah selesai dari jenjang pendidikan tertentu.
Secara teoritis, kualitas sekolah dipandang dari tiga aspek utama, yaitu input, proses pendidikan, dan output. Sementara, pendapat lain menambahkan satu komponen, yaitu outcomes (keluaran) atau hasil yang dicapai ketika siswa telah selesai dari jenjang pendidikan tertentu.
Kualitas input menunjuk pada kualitas siswa yang mendaftar atau
masuk ke sebuah sekolah. Ini meliputi nilai tes masuk atau nilai hasil ujian
nasional yang dicapai siswa. Proses menunjuk pada kualitas proses pembelajaran
yang berlangsung di sekolah. Komponen ini termasuk pengembangan iklim dan
budaya sekolah yang melingkupi proses pembelajaran di sekolah. Kualitas
manajemen kepemimpinan kepala sekolah, serta kualitas guru menjadi indikator
proses ini. Sementara output menunjuk pada kualitas lulusan sekolah yang
bersangkutan. Secara praktis, kualitas output dinilai dari nilai ujian nasional
dan keterserapan lulusan pada sekolah-sekolah lanjutan “yang berkualitas”.
Sebagai pembuat, pengontrol, dan pengevaluasi kebijakan,
pemerintah memiliki ukuran tertentu untuk mengukur kualitas pendidikan, yaitu
melalui delapan standar pendidikan. Ini adalah instrumen utama pemerintah.
Untuk itu, pemerintah juga memiliki pendapat normatif mengenai ukuran kualitas
pendidikan (Scheerens, 2004).
Bagi pemerintah, sekolah berkualitas adalah sekolah yang mampu
menerapkan delapan standar pendidikan. Delapan standar ini kemudian diterapkan
ke dalam banyak indikator. Indikator inilah yang menjadi alat ukuran dalam
proses akreditasi sekolah.
Secara normatif, pemerintah sebagai perangkat kekuasaan negara,
menetapkan serangkaian indikator atau standarisasi untuk mengukur kualitas
sekolah. Dalam hal ini, pemerintah memiliki hak untuk menilai apakah sebuah
sekolah masuk dalam kategori sekolah berkualitas atau tidak. Standarisasi ini
diwujudkan ke dalam delapan standar pendidikan, yaitu: standar kompetensi
lulusan, standar isi, standar proses, standar pendidik dan tenaga kependidikan,
standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar biaya, dan standar
penilaian.
Kedelapan standar ini wajib dipenuhi setiap sekolah agar dapat
mencapai predikat sekolah berkualitas. Evaluasi terhadap delapan standar ini
dilakukan melalui proses akreditasi sekolah. Hasil akreditasi sekolah akan
memetakan sekolah ke dalam tiga kelompok, yaitu sekolah dengan akreditasi A, B,
dan C, serta sekolah belum diakreditasi. Kualitas sekolah, dengan demikian
ditunjukkan melalui status akreditasinya. Sekolah yang telah mendapat status
akreditasi berarti telah memenuhi standar pendidikan nasional sesuai dengan
kategorinya.
Wacana Sekolah
Sekolah sebagai pihak yang sangat berkepentingan dengan masalah standar kualitas memiliki pandangan yang cukup berbeda dalam menilai kualitas sekolah. Beberapa jawaban hasil wawancara diperoleh data bahwa sekolah-sekolah negeri tidak terlalu mempersoalkan masalah kualitas sekolah. Bagi sekolah negeri, mencapai predikat sekolah berkualitas mudah dilakukan karena mendapat dukungan dari pemerintah. Di samping itu, mereka juga relatif lebih mudah mendapatkan siswa berkualitas yang diinginkan, sehingga dari sisi input mereka memungkinkan melakukan seleksi.
Sekolah sebagai pihak yang sangat berkepentingan dengan masalah standar kualitas memiliki pandangan yang cukup berbeda dalam menilai kualitas sekolah. Beberapa jawaban hasil wawancara diperoleh data bahwa sekolah-sekolah negeri tidak terlalu mempersoalkan masalah kualitas sekolah. Bagi sekolah negeri, mencapai predikat sekolah berkualitas mudah dilakukan karena mendapat dukungan dari pemerintah. Di samping itu, mereka juga relatif lebih mudah mendapatkan siswa berkualitas yang diinginkan, sehingga dari sisi input mereka memungkinkan melakukan seleksi.
Akan tetapi, bagi SMA swasta (dan sekolah swasta pada umumnya),
menjaga kualitas adalah sebuah tantangan yang paling berat. Selain mereka harus
berkompetisi dengan sekolah negeri, mereka juga harus berkompetisi dengan SMK.
Tantangan ini semakin berat ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan “SMK bisa”
yang menyebabkan lulusan SMP lebih memilih SMK daripada SMA swasta.
Indikator kualitas pendidikan menurut beberapa sumber dari pihak
sekolah menyebutkan bahwa pemerintah seharusnya tidak hanya berpedoman pada
delapan standar pendidikan secara kaku. Dalam menilai kualitas sekolah,
pemerintah seharusnya memperhatikan usaha yang telah dilakukan sekolah.
Secara rinci, pemerintah harus mempertimbangkan aspek
“kesenjangan input dan proses dengan hasil yang berhasil diraih” SMA. Sekolah
yang berhasil mendidik siswa “yang tidak berkualitas” (kualitas input rendah)
menjadi siswa yang berkualitas (output tinggi) seharusnya menjadi sekolah
berakreditasi A. Atau, sekolah dengan fasilitas minim, akan tetapi mampu
menghasilkan lulusan yang berkualitas seharusnya juga layak mendapat akreditasi
A. Ini tidak semata-mata didasarkan pada indikator delapan standar pendidikan
secara kaku. Inti kualitas sekolah adalah pada kesenjangan kondisi input dan
output.
Wacana Siswa dan Orang Tua
Siswa dan orang tua memaknai kualitas sekolah secara sederhana. Siswa memaknai sekolah berkualitas dari aspek fasilitas sekolah dan guru yang mengajar. Sekolah berkualitas adalah sekolah yang memiliki fasilitas belajar yang lengkap; guru yang menyenangkan ketika mengajar; dan dekat dengan siswa. Inilah beberapa makna sekolah berkualitas dalam pandangan siswa.
Siswa dan orang tua memaknai kualitas sekolah secara sederhana. Siswa memaknai sekolah berkualitas dari aspek fasilitas sekolah dan guru yang mengajar. Sekolah berkualitas adalah sekolah yang memiliki fasilitas belajar yang lengkap; guru yang menyenangkan ketika mengajar; dan dekat dengan siswa. Inilah beberapa makna sekolah berkualitas dalam pandangan siswa.
Beberapa siswa secara eksplisit menyebut bahwa sekolah negeri
dan swasta favorit adalah sekolah yang berkualitas. Mereka pun bercita-cita
untuk dapat bersekolah di sana. Namun, beberapa mengatakan bahwa mereka tidak
mampu mewujudkan cita-cita itu.
Pertama, mereka gagal karena nilai hasil ujian nasional tidak
memungkinkan mereka untuk masuk ke sekolah favorit. Kedua, mereka gagal karena
biaya sekolah di sekolah favorit adalah mahal. Sehingga mereka memilih
bersekolah di sekolah swasta tidak favorit karena lebih murah.
Orang tua cenderung tidak peduli dengan masalah akreditasi
sekolah. Beberapa orang tua yang diwawancarai tidak mengetahui status
akreditasi sekolah tempat anaknya bersekolah. Bahkan mereka tidak memahami
makna ‘akreditasi’. Bagi mereka, pilihan menentukan sekolah didasarkan pada
alasan praktis: biaya murah dan lokasi mudah dijangkau atau dekat dengan tempat
tinggal sehingga dapat menghemat biaya transportasi. Bahkan ada orang tua yang
sengaja memilih sekolah berakreditasi C karena ia tidak memedulikan masalah
akreditasi karena keberhasilan sekolah bergantung pada usaha si anak.
Ada orang tua yang terpaksa menyekolahkan anaknya di sekolah
yang tidak berkualitas (dalam pandangan mereka) dikarenakan anak mereka tidak
memenuhi standar nilai yang disyaratkan. Bagi mereka, sekolah berkualitas
adalah untuk anak-anak yang pintar. Sekolah berkualitas atau sekolah favorit
bukan untuk anak-anak bodoh. Selain itu, menurut mereka, sekolah favorit memang
berkualitas, namun mahal.
Sementara masyarakat memiliki banyak harapan terhadap sekolah.
masyarakat memandang secara praktis bahwa sekolah berkualitas adalah sekolah
yang memiliki banyak peminat. Litten & Hall (1989) menyebut pendapat ini
sebagai pandangan berorientasi pasar, ketika sekolah yang baik dimaknai sebagai
sekolah yang memiliki banyak pembeli (peminat). Selain itu, ada pula pertimbangan
normatif, yaitu sekolah harus memiliki fasilitas belajar yang lengkap serta
guru yang berkualitas, dan mereka juga mampu menghasilkan lulusan yang
berkualitas yang dapat diterima di perguruan tinggi favorit.
Data ini menunjukkan bahwa ada perbedaan cara pandang dalam
memaknai sekolah berkualitas. Tantangan pemerintah sebagai pengontrol kualitas
pendidikan adalah menyediakan dan menjamin kualitas sekolah yang sama di setiap
tempat, sehingga semua warga negara dapat mengakses pendidikan yang
berkualitas.
Di sisi lain, sekolah lebih mementingkan usaha atau proses dalam
mencapai kualitas sekolah, dan mereka ingin agar usaha mereka diakui dan
dihargai pemerintah. Sedangkan masyarakat terlihat lebih pragmatis dalam
memilih sekolah. Mereka tidak memikirkan kualitas lulusan, proses, atau
ketersediaan sumber daya yang ada di sekolah.
Di masa sulit seperti sekarang, bagi masyarakat terutama dari
kalangan bawah, yang penting adalah “anak-anak mereka dapat bersekolah”.
Tentunya mereka ingin menikmati sekolah murah dan berkualitas.
Kualitas Pendidikan di Indonesia: Diskriminatif !
Pendekatan sosiologi pendidikan mendefinisikan kualitas pendidikan dalam kerangka bagaimana sekolah menjalankan fungsi sosial tertentu. Fungsi utama pendidikan adalah sebagai dasar kualifikasi, seleksi dan pembagian. Sebagaimana kita ketahui bahwa sekolah memiliki fungsi-fungsi positif dalam masyarakat. Bila sekolah mampu melakukan fungsi positif ini, maka sekolah telah menjalankan perannya dengan baik bagi masyarakat.
Pendekatan sosiologi pendidikan mendefinisikan kualitas pendidikan dalam kerangka bagaimana sekolah menjalankan fungsi sosial tertentu. Fungsi utama pendidikan adalah sebagai dasar kualifikasi, seleksi dan pembagian. Sebagaimana kita ketahui bahwa sekolah memiliki fungsi-fungsi positif dalam masyarakat. Bila sekolah mampu melakukan fungsi positif ini, maka sekolah telah menjalankan perannya dengan baik bagi masyarakat.
Banyak sekolah berkualitas namun tidak diminati banyak orang
karena masyarakat lebih memercayai pendapat umum yang secara sepihak telah
mengotak-kotakkan atau membuat klaim-klaim subjektif bahwa sekolah A baik dan
sekolah B tidak baik hanya karena sekolah A berisi banyak anak-anak cerdas.
Lulusannya banyak masuk ke perguruan tinggi ternama.
Atau karena sekolah B sepi peminat dan berisi banyak siswa yang
gagal masuk ke sekolah favorit. Akibatnya, anak-anak yang bersekolah di sekolah
B merasa menjadi anak-anak inferior yang di kemudian hari akan membentuk cara
pandang dirinya terhadap konsep dirinya bahwa “karena aku hanya berhasil masuk
ke sekolah B berarti aku termasuk siswa bodoh”...